Biografi Ulama Nusantara
Sayyid
Jumadil Kubro adalah salah seorang Ulama (Waliyullah) yang memiliki
karomah cukup besar. Beliau adalah seorang yang mempunyai garis
keturunan cukup dekat dari Rasulullah SAW. Hal ini dapat kita lihat dari
silsilah berikut : Sayyid Jumadil Kubro bin Sayyid Zainul Khusen bin
Sayyid Zainul Kubro bin Sayyid Zainul Alam bin Sayyid Zainal Zainal
Abidin bin Sayyid Khusen bin Siti Fatimah binti Rasulullah Muhammad SAW
bin Abdullah bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushoyi
bin Kilab bin Murota bin Kaáb bin Luayyi bin Gholib bin Fihri bin Maliki
bin Nadri bin Kinana bin Khuzaimah bin Mudrika bin Ilyas bin Mudhoro
bin Nizar bin Maad bin Adnan bin Uddi bin Udada bin Mukowami bin Nakhuro
bin Tairokhi bin Ya’rub bin Yasjub bin Nabit bin Ismail bin Ibrahim bin
Tarokha bin Nakhuro bin Syarukho bin Arghu bin Falakho bin Abaro bin
Syalakho bin Arfakhsan bin Sami bin Nukh bin Lamaka bin Mutawaslikh bin
Idris bin Yarid bin Mahlail bin Qoinani bin Yanasy bin Syits bin Adam
Alaihi Sholatuwassalam. Beliau dilahirkan pada tahun 1349 M di sebuah
daerah di kota Samarkhand, dekat kota Bukhoro yang merupakan wilayah
Negara Azarbaijan (Negara bekas kekuasaan Uni Sovyet).
Di sana beliau di didik dan dibesarkan oleh ayahanda Sayyid Zainul
Khusen, sampai akhirnya beliau menikah dan dikaruniai tiga putra. Adapun
ketiga putra beliau itu adalah :
1. Sayyid Ibrahim (Ibrahim As-Samarkhandi)
2. Maulana Iskha’
3. Sunan Aspadi yang dikawin oleh Raja Rum
Datang Ke Chempa
Pada sekitar tahun 1399 M. sayyid Jumadil Kubro datang ke Chempa. Chempa
adalah nama sebuah kerajaan yang berada di wilayah Negara Muangthai.
Kedatangan beliau ke sana bertujuan untuk berdakwah sambil berdagang
selain juga bersilaturahmi menemui putra dan cucu beliau.
Di Chempa (Muangthai) sebelumnya telah ada kegiatan dakwah Islam yang
dilakukan sejak tahun 1395 M oleh Maulana Ibrahim yang beliau adalah
putra dari Sayyid Jumadil Kubro, sehingga tugas Sayyid Jumadil Kubro
adalah mengembangkan dan meningkatkan pemahaman ajaran Islam, termasuk
Raja Chempa yang bernama Kuntoro. Sayyid Ibrahim (putra dari Sayyid
Jumadil Kubro) menikah dengan Dewi Candrawulan yang merupakan putrid
Kuntoro (Raja Chempa). Dari perkawinan itu, beliau dikaruniai dua putra
yaitu :
1. Sayyid Ali Rahmatullah (yang sekarang kita kenal dengan sebutan Sunan
Ampel)
2. Sayyid Ali Murtadho atau disebut Raja Pandito (beliau bertempat
tinggal di kerajaan Chempa bersama Raja Kuntoro)
Datang Pertama Ke Pulau Jawa
Setelah tugas-tugas Sayyid Jumadil Kubro di Chempa selesai maka beliau
meneruskan perjalanannya berdagang dan berdakwah ke pulau Jawa, beliau
datang abad ke 14 atau tepatnya pada tahun 1399 M. Kegiatan dakwah
beliau banyak dilakukan dilingkungan kerajaan karena barang-barang
dagangan beliau lebih banyak diminati dan dibutuhkan oleh keluarga
kerajaan atau kaum bangsawan yakni berupa emas, intan zamrud, dan lain
sebagainya, termasuk ketika di Pulau Jawa beliau memilih sasaran
kegiatan dakwahnya di lingkungan kerajaan Majapahit yang dipandangnya
sebagai kerajaan Hindu terbesar di Jawa bahkan di Nusantara pada masa
itu.
Dalam perjalanan dakwah dan dagangnya ke pulau Jawa, Sayyid Jumadil
Kubro merasakan banyak kesulitan dalam melakukan kegiatan menyiarkan dan
mengembangkan agama Islam. Hal ini diantaranya disebabkan karena masih
kuatnya pengaruh ajaran agama Hindu serta Budha yang disukung besarnya
pengaruh kerajaan saat itu. Kepercayaan Animisme (pemuja roh-roh nenek
moyang) misalnya, serta kepercayaan Dinamisme (pemuja benda-benda yang
dianggap keramat) merupakan hambatan tersendiri di dalam mengembangkan
ajaran Islam, sehingga masyarakat pada masa itu sangat sulit untuk
dimasuki ajaran Islam.
Terlebih lagi dengan maraknya pemujaan-pemujaan pada roh nenek moyang
dan benda-benda yang dianggap punya keramat atau kekuatan gaib, ini
mendatangkan dukungan kekuatan Ïstidraj”dari jin, setan, genderuwo dan
sebangsanya banyak dilakukan oleh masyarakat pada masa itu, sehingga
kebanyakan wilayah di pulau Jawa menjadi daerah yang angker karena
kuatnya kekuasaan gaib jin, setan dan sejenisnya.
Situasi yang demikian ini menjadikan sulitnya Sayyid Jumadil Kubro dalam
mengembangkan kegiatan dakwahnya. Beliau hanya sempat melakukan
kegiatan dakwah dan perdagangan dari lingkungan kerajaan Hindu satu ke
lingkungan kerajaan lainnya yang kegiatan itu pun secara
sembunyi-sembunyi. Tentunya hasil yang dicapai jelas sangat tidak
mengembirakan. Kegiatan dakwah secara terang-terangan tidak memungkinkan
beliau lakukan, karena hal tersebut tentu akan mengundang kemurkaan
kerajaan-kerajaan besar seperti Mojopahit, Pajajaran dan Mataram yang
kala itu menganut ajaran Hindu serta kemurkaan kekuatan-kekuatan gaib
(Istidraj) dari bangsa jin, setan dan sejenisnya.
Kesulitan Sayyid Jumadil Kubro di dalam mengembangkan ajaran Islam di
pulau Jawa agak berkurang setelah beliau bertemu dengan seorang
Tumenggung Mojopahit yang bernama Tumenggung Satim Singomoyo. Karena
hanya beliaulah seorang pejabat kerajaan yang bias diajak musyawarah
tentang kesulitannya di dalam berdakwah untuk mengembangkan ajaran
Islam. Kala itu beliau sudah memeluk agama Islam walaupun hal ini tidak
berani dilakukan secara terang-terangan.
Hanya Tumenggung Satim Singomoyo lah yang bias diajak bertukar pendapat
tentang bagaimana cara mengembangkan ajaran Islam ditanah Jawa utamanya
di lingkungan kerajaan yang masyarakatnya kala itu sudah sangat
terpengaruh dengan ajaran Hindu dan Budha.
Alhamdulillah, dengan keberadaan Tumenggung Satim Singomoyo, akhirnya
sedikit demi sedikit masyarakat Mojopahit memeluk Islam, termasuk yang
berada di lingkungan kerajaan. Walaupun hal ini masih dinilai kurang
memuaskan. Setelah beliau wafat, beliau dimakamkan disebuah tempat yang
sekarang menjadi satu dengan makam Sayyid Jumadil Kubro. Makam beliau
diberi tanda tanaman pohon jati. Namun setelah pohon jati itu besar
tumbuhlah pohon apak dan beringin yang membalut pohon jati tersebut
sehingga yang kelihatan hanya pohon apak dan beringin. Hingga sekarang
pohon tersebut masih hidup.
Melawan Penguasa Dan Kekuatan Gaib
Besarnya pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu Mojopahit yang saat itu
berada pada punack kejayaan di bawah kepemimpinan Raja hayam Wuruk dan
Patih Gajah Mada sangatlah besar dan luas tidak hanya dalam lingkungan
masyarakat Mojopahit saja, namun sudah hampir mencakup seluruh wilayah
Nusantara sebagaimana tekad Patih Gajah Mada yang sangat terkenal dengan
sumpahnya “Amukti Palapa”.
Kemasyhuran dan kejayaan kerajaan Mojopahit ini dikenal bahkan sampai
terkenal ke luar negeri, seperti halnya kerajaan Tiongkok, Chempa dan
sebagainya, yang hal ini juga dibuktikan dengan adanya hubungan
perkawinan antara salah seorang putri Chempa (Dewi Dwarawati) kakak
Candra Wulan dengan salah seorang Raja Majapahit (Brawijaya I atau Raja
Kertawijaya). Ditambah lagi dengan banyaknya kekuatan gaib baik jin,
setan dan sejenisnya.
Dalam situasi yang demikian dan dari hasil pengamatan Sayyid Jumadil
Kubro akhirnya beliau menyimpulkan bahwa untuk mengembangkan Islam dan
melakukan dakwah pada masyarakat Jawa harus digunakan strategi atau cara
yang dapat mempengaruhi penguasa kerajaan serta mengurangi dan
mengalahkan pengaruh kekuatan gaib yang membuat hampir seluruh wilayah
pulau Jawa menjadi angker.
Menyusun Kekuatan
Kuatnya pengaruh kerajaan Hindu Mojopahit maupun pengaruh keangkeran
daerah-daerah di pulau Jawa tersebut, dirasakan Sayyid Jumadil Kubro
sebagai sebuah tantangan dakwah yang harus dihadapi, namun untuk
menghadapi tantangan penyiaran agama Islam yang sangat kuat tersebut,
beliau merasakan kurang kuat jika dilakukan hanya dengan seorang diri.
Oleh karenanya, pada sekitar 1404 M Sayyid Jumadil Kubro meninggalkan
pulau Jawa untuk kembali ke kampong halamannya di Samarkhan Azarbaijan
dengan maksud melaporkan temuan dan pengalaman dari apa yang telah
beliau lakukan di Pulau Jawa kepada kekhalifahan Islam Turki Sultan
Muhammad I sekaligus beliau mengusulkan untuk segera menyusun kekuatan
dakwah yang akan ditugaskan untuk menyiarkan agama Islam ke Pulau Jawa.
Pembentukan Wali Songo
Dalam pertemuannya dengan Sultan Muhammad I (Raja Turki) saat itu,
Sayyid Jumadil Kubro mengusulkan agar Sultan Muhammad I mengundang
beberapa Ulama dari wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara yang memiliki
karomah besar untuk diajak musyawarah membahas kegiatan dakwah Islam dan
pengembangannya di Pulau Jawa.
Setelah mendengar dan memperhatikan cerita pengalaman dan temuan Sayyid
Jumadil Kubro tentang situasi dan keadaan agama Islam di daerah Pulau
Jawa, Akhirnya disepakati bahwa untuk melakukan kegiatan dakwah ke Pulau
Jawa ditunjuk dan ditugaskan 9 (Sembilan) orang Ulama (Auliya’) dengan
berbagai keahliannya masing-masing. Sembilan orang itu akan dibagi jadi
tiga bagian, Jawa Timur tiga orang Ulama, Jawa Tengah tiga orang Ulama,
Jawa Barat tiga orang Ulama, dengan masa bhakti satu abad (seratus
tahun) apabila terjadi ada yang wafat atau pindah dari Pulau Jawa harus
mengadakan rapat untuk mencari penggantinya. Kesembilan Ulama tersebut
selanjutnya dilembagakan dan ditetapkan dengan sebutan WALI SONGO yang
untuk pertama kalinya beranggotakan Sembilan Ulama, beliau-beliau adalah
:
1. Maulana Malik Ibrahim
Ulama dari Turki, ahli Tata Negara dan pengobatan, beliau berdakwah di
Jawa Timur, Wafat di Gresik - Jawa Timur, 1419 M.
2. Maulana Ishak
Ulama dari Samarkhan beliau putra dari Sayyid Jumadil Kubro, ahli
pengobatan, berdakwah di Jawa Timur, setelah tugas di Blambangan
Banyuwangi beliau pindah ke Pasai. Menurut KH. Abdurahman Wahid (Gus
Dur) beliau wafat dan dimakamkan di Jombang, di Jl. Garuda Dusun
Tambakberas Desa Tambakrejo Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang (Jawa
Timur).
3.Maulana Jumadil Kubro
Ulama dari Samarkhan Azarbaijan, ahli militer dan beliau terkenal
sebagai orang sakti, berdakwah di lingkungan kerajaan Majapahit, wafat
di Troloyo Mojokerto tahun 1465 M.
4.Maulana Ahmad al Maghroby (Sunan Geseng)
Ulama dari Maroko Afrika Utara, beliau terkenal sebagai orang yang kuat
dan sakti berdakwah di Jawa tengah, wafat di daerah Mojopahit dan
dimakamkan di Pesantrennya Jati Anom Klaten tahun 1465 M.
5.Maulana Malik Isroil
Ulama dari Turki ahli mengatur Negara, berdakwah di Jawa Tengah, wafat
di daerah Gunung Santri Cilegon Jawa Barat tahun 1435 M.
6.Maulana Muhammad Ali Akbar
Ulama dari Persia (Iran) ahli pengobatan dan pertanian, berdakwah di
Jawa tengah, wafat di daerah Gunung Santri Cilegon Jawa Barat tahun 1435
M.
7.Maulana Hasanuddin
Ulama dari Palestina, berdakwah di Jawa Barat dan beliau terkenal
sebagai orang sakti, wafat tahun 1462 M, dimakamkan di samping Masjid
Banten Lama.
8.Maulana Alayuddin
Ulama dari palestina, berdakwah di Jawa Barat, wafat tahun 1462 M,
dimakamkan di samping Masjid Banten Lama.
9.Syekh Subakir
Ulama dari Persia (Iran) ahli supranatural (tumbal tanah)
angker/mengusir jin, setan, genderuwo dan sebagainya), tugasnya di Pulau
Jawa, beliau kembali ke negerinya Persia tahun 1462 M setelah selesai
tugasnya.
Dari Sembilan Ulama (Wali Songo) generasi pertama ini yang ditunjuk
sebagai pemimpin atau Mufti adalah Maulana malik Ibrahim yang bertempat
tinggal di Gresik.
Sembilan Ulama Wali Songo diberangkatkan oleh Sultan Muhammad I dari
Turki ke Pulau Jawa pada tahun 1404 M dengan mengendarai kapal dagang
dan membawa barang dagangan yang diperkirakan laku diperdagangkan di
Pulau Jawa.
Datang Di Pulau Jawa Yang Kedua
Untuk kedua kalinya Sayyis Jumadil Kubro datang di pulau Jawa
bersama-sama dengan rombongan 9 (Sembilan orang Ulama yang sudah
terorganisir dalam suatu lembaga dakwah WALI SONGO kedatangan Wali Songo
ini membuat semakin geram dan galaknya kekuatan-kekuatan gaib yang
selama ini menguasai Pulau Jawa. Semakin mengamuknya keangkeran jin,
setan, dan makhluk sejenisnya disebabkan karena kekhawatiran akan
hilangnya pengaruh dan berkurangnya pemuja-pemuja mereka, sebab
kehadiran dan kegiatan dakwah para ulama wali songo yang akan berlawanan
dengan apa yang selama ini dilakukan oleh masyarakat yang ada di Pulau
Jawa yakni memuja jin, setan dan lain sebagainya.
Memasang Tumbal Di Pulau Jawa
Melihat situasi keangkeran pulau Jawa yang semakin menjadi-jadi, Syeikh
Maulana Malik Ibrahim selaku Mufti Wali Songo yang pertama ini
memberikan tugas kepada Syeikh Subakir salah satu anggota Wali Songo
yang ahli dalam bidang metafisika (ahli mengusir jin, setan, genderuwo
dan sejenisnya) untuk segera melakukan tugasnya memasang tumbal pada
daerah-daerah angker di Pulau Jawa sehingga dapat melumpuhkan
kekuatan-kekuatan gaib (kekuatan istidraj) yang selama ini menguasai
pulau Jawa.
Setelah Syeikh Subakir memasang tumbal di puncak gunung tidar, lalu pada
daerah-daerah angker dan rawan pengaruh kekuatan gaib, selanjuntnya
Sayyid Jumadil Kubro beserta sahabat-sahabatnya yang tergabung dalam
Wali Songo segera membagi tugas dakwahnya di beberapa wilayah pulau Jawa
dengan agak mudah dan leluasa karena tidak lagi berhadapan dengan
kekuatan gaib bangsa makhluk halus.
Sayyid Jumadil Kubro sendiri dalam pembagian tugas ini memilih wilayah
dakwah di lingkungan kerajaan Mojopahit yang menurut pengamatannya
merupakan kerajaan terbesar dan paling berpengaruh bagi kehidupan banyak
kerajaan dan penduduk di pulau Jawa. Di samping itu Sayyid Jumadil
Kubro sudah memiliki jalur masuk lingkungan kerajaan Mojopahit saat itu,
karena istri raja Prabu Kertawijaya (Brawijaya I) yakni Dewi dwarawati
atau disebut Darawati Murdaningrum putrid Raja Chempa adalah adik
kandung dari menantu beliau Dewi Chandrawulan diperistri putra beliau
Sayyid Ibrahim As-Samarkhandi (orang tua Sunan Ampel Surabaya)
Perang Saudara
Kerajaan Mojopahit setelah wafatnya Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk
sekitar abad 14 mulai surut pamor dan kejayaannya. Peperangan saudara
antara Wikramawardhana dengan Wirabumi mengakibatkan melemahnya kendali
pusat pemerintahan kerajaan Mojopahit. Penduduk Mojopahit terutama dari
Kasta Sudra dan Waisya (golongan masyarakat buruh dan petani dalam agama
Hindu) yang selama ini menempati derajat rendah dan hina mulai
mengalami pembangkangan dan pemberontakan jiwa dan naluri kemanusiaan
mereka merasa tidak dapat menerima adanya perbedaan-perbedaan derajat
manusia hanya karena nasib pekerjaan dan mata pencahariannya.
Kondisi yang demikian ini sangat menguntungkan bagi penyebaran agama
Islam yang menjadikan pesatnya penyiaran agama Islam. Yang pada ajaran
Islam mengajarkan persamaan harkat, martabat dan derajat manusia. Ajaran
ini menjadi berkembang, utamanya dikalangan masyarakat petani, nelayan,
buruh dan pegawai kerajaan. Perlahan tapi pasti, masyarakat kelas bawah
(dalam andangan Hindu) mulai berbondong-bondong memeluk agama Islam,
mengikuti ajaran-ajaran Wali Songo yang dengan bijak dan santun
menyampaikan misi dalam dakwahnya.
Mohon Pertolongan
Kekacauan keadaan di sekitar pusat kerajaan Mojopahit semakin lama
semakin memprihatinkan, baik akibat terjadinya perang saudara maupun
akibat sering terjadinya perselisihan diantara pegawai kerajaan yang
sudah memeluk Islam dan pegawai kerajaan yang masih beragama Hindu.
Situasi ini ternyata membawa manfaat yang cukup besar bagi Sayyid
Jumadil Kubro, penampilan yang sejuk tutur bicara yang santun ketika
beliau beranjangsana ke keluarga kerajaan menjumpai Dewi Dwarawati
(Darawati Murdaningrum) ternyata dapat membawa ketentraman di hati Prabu
Kertawijaya Mojopahit dan keluarganya, hingga suatu saat punya
angan-angan Prabu Mojopahit untuk minta tolong kepada Sayyid Jumadil
Kubro untuk dapat menentramkan situasi kerajaan yang semakin hari
semakin bertambah kacau.
Belum sempat Prabu Mojopahit menyampaikan permintaannya pada Sayyid
Jumadil Kubro, Dewi Dwarawati yang sebenarnya adalah seorang muslimah
putrid Chempa, menyampaikan usul pada Prabu Mojopahit atas saran
pandangan Sayyid Jumadil Kubro supaya Prabu Mojopahit mau mengundang
seorang tokoh yang dianggap mampu menentramkan situasi kerajaan
Mojopahit yang sedang dilanda kekacauan itu.
Rapat Darurat
Saat kondisi kerajaan Mojopahit seperti itu maka Prabu Kertawijaya
mengundang semua adipati dan para Tumenggung diajak rapat bersama yang
intinya mencari orang (Ulama) yang bias menenteramkan wilayah Mojopahit.
Maka pada zaman kerajaan dahulu orang Hindu sudah membuat cara apabila
wilayahnya sedang kacau dan tak bias mengatasi barulah membutuhkan
Ulama. Dan dalam keputusan rapat menyetujui Sayyid Ali Rahmatullah dari
Chempa Muangthai (Putera Sayyid Ibrahim Samarkhani) satu-satunya orang
yang akan diminta untuk menentramkan wilayah Mojopahit. Maka para
adipati yang telah ditunjuk untuk berangkat ke Chempa dan diantarkan
oleh Maulana Iskhak bersama-sama berangkat menuju Chempa menemui Sayyid
Ali Rahmatullah.
Rombongan Majapahit Tiba Di Chempa
Setelah rombongan adipati Mojopahit dan Maulana Iskhak tiba di Chempa
disambut baik oleh Raja Chempa dan mengadakan musyawarah di rtamu
kerajaan juga ditemui oleh Sayyid Ibrahim Samarkhandi juga anaknya
Sayyid Ali Rahmatullah.
Setelah hasil musyawarah ada kesepakatan maka berangkatlah semua adipati
Mojopahit juga Sayyid Maulana Iskhak. Sedangkan Sayyid Ali Rahmatullah
diantar oleh ayahnya Sayyid Ibrahim As-Samarkhandi dan saudaranya Sayyid
Ali Murtadho (Raja Pandhito) bersama-sama berangkat naik kapal menuju
pulau Jawa (Mojopahit).
Sayyid Ali Rahmatullah Datang Di Pulau Jawa
Pada tahun 1420 M pertama kali Sayyid Ali Rahmatullah datang di pulau
Jawa atas permintaan Raja Mojopahit Prabu Brawijaya I. keberangkatan
beliau diantar oleh ayahnya Sayyid Ibrahim As-Samarkhandi dan saudaranya
Sayyid Ali Murtadho (Raja Pandhito) bersama-sama dengan rombongan
Adipati Mojopahit yang diantar oleh Maulana Iskhak. Kapal yang
ditumpangi rombongan tersebut berlabuh di Gresik.
Setelah para rombongan utusan Raja Mojopahit dan keluarga Sayyid Ali
Rahmatullah tiba di Gresik dengan tiba-tiba Sayyid Ibrahim
As-Samarkhandi sakit dan dibawa ke Tuban, yang akhirnya setelah di Tuban
beliau wafat dan dimakamkan di Tuban (Kecamatan Palang), setelah
selesai pemakaman Sayyid Ibrahim As-Samarkhandi, Sayyid Ali Murtadho
(Raja Pandhito) meneruskan perjalanan dakwah keliling ke Nusa tenggara,
Madura sampai ke Bima. Beliau disana mendapat julukan Panditho Bima.
Setelah itu beliau kembali ke Gresik dan akhirnya wafat di Gresik.
Beliau di Gresik mendapat julukan Raden Santri. Beliau mempunyai anak
bernama Haji Ustman (Sunan Ngudung) yang menikah dengan Siti Syariáh
binti Sunan Ampel mempunyai seorang anak bernama Amir Hasan.
Dan Haji Ustman (Sunan Ngudung) juga menikah dengan dewi Sarah binti
Tumenggung Wilwatikta Tuban mempunyai 2 anak : 1. Dewi Sujana yang
dinikahkan dengan Umar Said (Sunan Muria) 2. Amir Haji (Sunan Kudus)
menikah dengan Dewi Rukhila binti Sunan Bonang.
Adapun Sayyid Ali Rahmatullah juga meneruskan perjalanannya ke
Mojopahit. Beliau beserta rombongan utusan raja Mojopahit dari Gresik
numpang kapal mendarat di Canggu. Setelah tiba di Canggu para Adipati
dan Tumenggung sudah menunggu kedatangan Sayyid Ali Rahmatullah. Setelah
tiba di Canggu maka berangkatlah Sayyid Ali Rahmatullah beserta para
Adipati dan Tumenggung menuju Kerajaan Mojopahit. Adapun dalam silsilah
Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) adalah anak Sayyid Ibrahim
As-Samarkhandi sedangkan Sayyid Ibrahim As-Samarkhandi anak Sayyid
Jumadil Kubro Troloyo dan Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadho
adalah cucu Sayyid Jumadil Kubro Troloyo. Sedangkan Maulana Iskhak
adalah anak kandung Sayyid Jumadil Kubro.
Sayyid Ali Rahmatullah datang di Mojopahit
Setelah tiba di Mojopahit Sayyid Ali Rahmatullah disambut baik oleh
Prabu Brawijaya I (Prabu Ketawijaya) dan permaisurinya, Dewi Dwarawati
(Darawati Murdaningrum) (bibinya). Sedangkan Maulana Iskhak pergi ke
Gresik ke makam Maulana Malik Ibrahim guna mohon petunjuk kepada Allah
setelah wafatnya Maulana Malik Ibrahim yang sebagai Mufti Wali Songo
periode I sudah wafat.
Setelah mengadakan musyawarah dengan keluarga kerajaan Mojopahit Sayyid
Ali Rahmatullah mohon supaya semua Adipati dan Tumenggung dikumpulkan di
ruang siding kerajaan Mojopahit. Dengan semangat semua Adipati dan
Tumenggung bahkan para prajurut semua sama berkumpul di ruang siding
Kerajaan Mojopahit bahkan tidak ketinggalan Ki Ageng Supo Bungkul juga
ikut hadir.
Setelah Sayyid Ali Rahmatullah member nasehat tentang hokum syariát
Islam, Tauhid dan Akhlaq semua sama takjub karena belum pernah
mendengar. Apalagi pada waktu menerangkan tentang larangan-larangan
hokum Syariát Islam dan akibat-akibat larangan agama Islam, banyak orang
yang merasa ketakutan karena kenyataannya memang begitu. Yang hingga
sekarang sering orang : MOH – LIMO (tidak mau dengan lima larangan),
selama Sayyid Ali Rahmatullah berada di Kerajaan Mojopahit, Sayyid
Jumadil Kubro sering datang ke kerajaan perlu menawarkan barang
dagangannya yang berupa emas, berlian, dan lain-lain pada warga
kerajaan, sambil member saran pada Sayyid Ali Rahmatullah yang masih
cucunya itu.
Berdakwah Di Lingkungan Kerajaan
Sayyid Ali Rahmatullah berdakwah dengan cara terbuka member nasehat
dengan lunak dan sabar. Mengangkat martabat umat yang miskin dan
janda-janda apalagi yatim piatu. Dan pada waktu Sayyid Ali Rahmatullah
membuat santunan pada janda-janda dan yatim piatu membuat kerajaan jadi
tenteram apalagi orang-orang yang masuk agama Islam menjadi pesat
perkembangannya.
Sedangkan Raja Kertawijaya semakin kagum atas pemberian santunan yang
dilakukan Sayyid Ali Rahmatullah karena hal itu belum pernah dilakukan
di kerajaan.
Dengan hati senang Prabu Brawijaya atas bimbingan Sayyid Ali Rahmatullah
itu, maka atas jasanya, sehingga beliau diambil menantu oleh Prabu
Ariyotejo Tuban, dijodohkan dengan anaknya yang bernama Dewi Candrawati
dan setelah berlangsungnya akad nikah Sayyid Ali Rahmatullah memberi
nama baru pada istrinya dengan nama : Nyai Ageng Manila, selain itu
Sayyid Ali Rahmatullah juga diberi hadiah wilayah di Surabaya dan
bangunan rumah yang tepatnya di Ampel Denta. Keberangkatannya dari
kerajaan Mojopahit menuju Ampel denta Surabaya, Sayyid Ali Rahmatullah
diantarkan para penduduk yang sudah masuk Islam dan Ki Ageng Sopa
Bungkul juga ikut mengantarkan sambil berdakwah di Krian, Wonokromo dan
Kembang Kuning Surabaya yang sekarang di bangun Masjid bernama Masjid
Rahmad, sebab yang pertama mendirikan Sayyid Ali Rahmatullah.
Pada tahun 1421 M Wali Songo mengadakan rapat di Ampel denta untuk
mengangkat Sunan Ampel masuk anggota Wali Songo dan sebagai pengganti
Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 M. rapat Wali songo yang
pertama kali diselenggarakan di Ampel ini, banyak Adipati Mojopahit yang
ikut hadir, terutama yang sudah masuk Islam. Bahkan Prabu Kertawijaya
juga ikut hadir dan mendukung Sunan Ampel sebagai Mufti, karena beliau
mengenang jasa Sunan Ampel di kerajaan Mojopahit. Dan atas keputusan
rapat wali Songo tersebut, maka terbentuklah anggota Wali Songo Periode
II.
Pelaksanaan rapat tersebut diselenggarakan pada tanggal 17 Ramadhan,
maka setiap bulan Ramadhan di masjid dan makam Sunan Ampel penuh sesak
dikunjungi ribuan peziarah bertujuan untuk ngalap barokah pengangkatan
Sunan ampel menjadi Mufti Wali songo.
Sejak Raden Rahmat diangkat sebagai Mufti Wali Songo santrinya semakin
hari semakin banyak, sehingga tempat untuk Sholat berjamaáh sudah tidak
muat lagi, karena banyaknya para santri baru dan tak bias mengikuti
sholat berjamaáh. Maka Raden Rahmat mengajak para santrinya membangun
masjid baru dengan bangunan yang sangat besar. Sedangkan ukurannya
seluas 46,80 x 44,20 = 2.068,56 m2. Adapun rangkaian bangunan masjid
yang dibangun menggunakan 16 tiang dengan ukuran 0,40 m, panjang 17 m
tanpa sambungan, sedangkan Raden Rahmat telah menunjuk satu santrinya
yang bernama Sonhaji sebagai pelaksana pembangunan masjid. Setelah
masjid itu dibangun dan bangunan hamper selesai, banyak usulan-usulan
yang diterima oleh Sunan Ampel dari beberapa santri tentang arah kiblat
yang tidak benar.
Namun Raden Rahmat tidak mau member jawaban tentang beberapa usulan para
santri tersebut karena pembangunan masjid sudah diserahkan pada
Sonhaji. Setelah itu para santri yang tidak puas dengan arah kiblat,
sama-sama menemui Sonhaji perlu untuk menyampaikan usulannya tentang
arah kiblat. Dengan tenang dan sabar Sonhaji menghadapi beberapa usulan
santri-santri tersebut. Dengan tiba-tiba jawaban Sonhaji dengan cara
membuat lubangan pada dinding pengimaman masjid sebelah barat. Setelah
didnding itu sudang lobang, maka Sonhaji memanggil beberapa santri untuk
melihat lubangan dinding itu. Tapi sungguh sangat mengejutkan para
santri kelihatan dari lubang itu yang terlihat adalah Ka’bah yang berada
di Mekkah, maka beberapa santri baru sadar dan sudah yakin dengan
kebenaran kiblat masjid yang dibangun Sonhaji, atas kejadian itu para
santri member nama baru pada Sonhaji dengan julukan Mbah Bolong. Setelah
beliau wafat dimakamkan di sebelah barat pengimaman Masjid Ampel,
sedangkan makam beliau mengundang pertanyaan. Mengapa yang ziarah ke
makam beliau kebanyakan para gadis dan janda ?.
Ingin Mati Sahid
Dalam kisah Sayyid Jumadil Kubro dalam memperjuangkan agama Islam baik
dengan cara berdakwah maupun berperang kesemangatannya sangat tinggi.
Bahkan usianya yang sudah lebih dari seratus tahun belum pernah surut
perjuangannya. Dalam usia yang sangat tua itu Sayyid Jumadil Kubro punya
niat ingin mati syahid. Dengan niatnya yang baik itu Sayyid Jumadil
Kubro bertapa empat puluh hari memohon kepada Allah semoga akhir
hayatnya dijadikan orang yang mati syahid.
Kisah Wafatnya
Pada tahun 1465 M Wali songo sedang membangun Masjid Demak, sedangkan
kerajaan Mojopahit mengadakan rapat mendadak. Semua Adipati sama hadir,
kecuali Raden Patah, atas usulan Adipati yang beragama Hindu, Raden
Patah harus dipanggil dan diadili karena tidak mentaati peraturan
kerajaan Mojopahit.
Dengan sengat para Adipati yang beragama Hindu berangkat ke Demak
bertujuan memanggil paksa Raden Patah. Namun setelah di Demak, para
Adipati tersebut ditemui oleh Sayyid Jumadil Kubro dan Maulana Maghribi.
Setelah para Adipati menyampaikan tujuannya memanggil paksa Raden
Patah, dengan nada keras Sayyid Jumadil Kubro dan Maulana Maghribi
mengusir para Adipati yang punya niat buruk itu. Sehingga terjadilah
pertempuran yang akhirnya para Adipati mundur kembali ke Mojopahit.
Setelah itu, Sayyid Jumadil Kubro dan Maulana Maghribi beserta para
santri berangkat ke Mojopahit, tujuannya memerangi para Adipati yang
masih beragama Hindu itu.
Setibanya di Mojopahit terjadilah peperangan yang sangat dahsyat
sehingga banyak Adipati yang gugur. Namun sudah menjadi niat Sayyid
Jumadil Kubro ingin mati syahid, maka saat itu juga Sayyid Jumadil Kubro
dan Maulana Maghribi juga gugur di medan peperangan. Dan tempat
terjadinya peperangan di desa Troloyo pada tanggal 15 Muharram 857 H.
kedua orang tersebut menjadi anggota Wali Songo selama 61 tahun (enam
puluh satu) tahun. Adapun Sayyid Jumadil Kubro dimakamkan di desa
Troloyo, dan beliau wafat berusia 116 tahun. Sedangkan Maulana Maghribi
oleh para santrinya dimakamkan di Jatianom Klaten Jawa Tengah (di
pesantrennya).
Setelah peperangan sudah reda, Wali Songo mengadakan rapat yang ketiga
kalinya bertempat di Ampel perlu mengangkat anggota baru untuk
menggantikan anggota yang sudah wafat.
Sirna Hilang Kertaning Bumi
Pada tahun 1465 M setelah wafatnya Sayyid Jumadil Kubro dan Maulana
Maghribi disebabkan perang melawan pasukan Hindu Mojopahit.
Atas wafatnya kedua anggota Wali Songo bukanlah suatu kemenangan bagi
kerajaan Mojopahit, malah membuat malapetaka. Apakah yang terjadi ?
Prabu Kertabumi semakin beringas dan menuduh beberapa Adipati dengan
tuduhan munafik, karena banyaknya Adipati dan Tumenggung yang masih
memeluk agama Hindu banyak yang gugur. Atas tuduhan sang Raja tersebut
banyak Adipati yang menentang tuduhannya, sehingga terjadi perselisihan
dan sebagian ada yang memisahkan diri dari wilayah kerajaan Mojopahit.
Setelah itu sang raja bersama-sama Adipati yang masih mengikuti kerajaan
Mojopahit mengadakan rapat mendadak, karena ada kabar sebagian Adipati
ada yang mau menyerang kerajaan Mojopahit yang di dukung oleh Kerajaan
Kediri. Dengan adanya kabar tersebut Prabu Kertabumi sangat kebingungan.
Di saat itulah Tumenggung Satim Singomoyo mulai berani mengajukan
seruan pada Kertabumi yang intinya Prabu Kertabumi diajak masuk agama
Islam dan tentang kerajaan disatukan dengan Wali Songo agar kerajaan
lebih kuat. Namun usulannya ditolak oleh Prabu Kertabumi.
Setelah usulan Tumenggung Satim Singomoyo ditolak oleh sang raja, maka
tak lama lagi sudah menjadi kenyataan apa yang terjadi ? pada tahun 1478
M pasukan perang dari Keling Kediri yang dipimpin Girindra Wardana yang
jumlahnya ribuan dengan mendadak langsung melingkari kerajaan
Mojopahit. Sedangkan Prabu Girindra Wardana langsung masuk menemui Prabu
Kertabumi. Atas pertemuan kedua raja tersebut Prabu Kertabumi tidak
mengadakan perlawanan tapi langsung membuat surat penyerahan kerajaan
Mojopahit pada Girindra Wardana, setelah Prabu Kertabumi membuat surat
penyerahan, Raja Mojopahit tersebut langsung pergi ke lereng Gunung
Lawu.
Gugurnya Sunan Ngudung
Pada tahun 1481 M Girindra Wardana menyerang Sunan Giri, karena khawatir
akan berdirinya kerajaan Islam di Jawa Timur. Namun usahanya gagal
karena mengalami kekalahan, meskipun mengalami kekalahan, usahanya
pantang mundur, beliau masih punya rencana ingin menyerang Wali Songo
dengan cara sangat licik yang intinya orang Islam Mojopahit bias
berperang melawan Wali Songo. Pada saat Raden Patah membuat utusan ke
Mojopahit untuk mencabut surat penyerahan kerajaan Mojopahit dari
Girindra Wardana yang ditandatangani Prabu Kertabumi, namun oleh Prabu
Girindra Wardana ditolak dengan cara kasar, sehingga menyulut Wali Songo
diajak berperang. Karena Raden Patah merasa punya hak waris kerajaan
Mojopahit, maka Raden Patah menugaskan Sunan Ngudung sebagai senopati
Demak untuk memimpin perang melawan Mojopahit, setelah pasukan Demak
tiba di Mojopahit terjadilah peperangan yang sangat hebat dan peperangan
berlangsung hamper dua tahun, saat peperangan ini Sunan Ngudung membawa
riwayat dan membuang waktu yang sangat panjang, hingga beberapa
kesaktiannya sama-sama dikeluarkan. Di akhir peperangan itulah Sunan
Ngudung gugur melawan pasukan perang Mojopahit. Peperangan yang menelan
banyak korban itu pasukan Demak hamper mengalami kekalahan. Berkat
siasat Sunan Kalijaga, dengan cara sembunyi-sembunyi menemui pemimpin
perang Mojopahit, ternyata yang memimpin perang adalah Raden Husen adik
kandung Raden Patah, setelah mengadakan pertemuan barulah Raden Husen
mengerti kalau orang Islam Mojopahit diadu oleh Girindra Wardana untuk
melawan Wali Songo. Atas hasil musyawarah Raden Husen dengan Sunan
kalijaga membawa hasil yang sangat memuaskan. Apakah yang terjadi ?
Pasukan perang yang dipimpin Raden Husen bergabung dengan pasukan Demak
berbalik arah sama-sama menyerang pasukan Mojopahit yang dikuasai Prabu
Girindra Wardana itu, sehingga pasukan Raja Girindra Wardana merasa
terdesak dan melarikan diri bersama-sama rajanya.
Keterangan sejarah babad tanah Jawa, setelah Raden Patah berhasil
merebut kerajaan Mojopahit dari kekuasaan Prabu Girindra Wardana, Raden
Patah beserta Sunan Kalijaga langsung ke Sunan Giri perlu melaporkan
atas kemenangannya.
Setelah kedua orang anggota Wali Songo itu tiba menghadap Sunan Giri,
selain melaporkan keberhasilannya merebut kerajaan Mojopahit juga
mengadakan musyawarah tentang kelanjutan kerajaan Mojopahit.
Tentang kerajaan Mojopahit Sunan Kalijaga membuat usulan : Sebaiknya
tentang harta kerajaan Mojopahit supaya dibagikan pada semua fakir
miskin saja, adapun bangunan (Istana Kerajaan) dibingkar dan diboyong ke
Demak sekaligus pusaka-pusaka yang ada sebagai bukti kalau raden Patah
adalah hak waris kerajaan Mojopahit. Sedangkan usulan Raden Patah, “Saya
pasrahkan apa keputusan Sunan Giri”. Setelah beberapa usulan diterima
oleh Sunan Giri, lalu Sunan Giri member keputusan : “Bahwa Sunan Giri
menyetujui usulan Sunan Kalijaga tentang bangunan dan semua
pusaka-pusaka di boyong ke Demak”. Namun, tentang harta kerajaan
Mojopahit yang dipandang terlalu banyak untuk nilai sekarang mencapai
puluhan triliyun supaya ditinggalkan saja biar dirawati dan dijaga oleh
beberapa makhluk halus (sebangsa jin) yang nantinya akan diserahkan pada
Imam Mahdi di akhir zaman. Karena beliaulah nanti yang bias mengatur
seluruh harta peninggalan Mojopahit ini. Itulah keputusan Sunan Giri.
2 comments
Jikalau kalian tau masih ada Makam Wali Allah lebih tua dari pada Syech Jumadil Qubro yang telah disemayamkan di sekitar makam beliau,
makamnya tak ada yang mengetahui, bahkan Syech Jumadil Kubro sendiri sangat menghormatinya,
beliau masih keturunan Nabi yang ke-15. Sungguh kasihan makam beliu tidak diberi kijingan dan kadang diinjak-injak oleh peziarah, belaiu yang sepuh pernah bilang tidak terima jasadnya di injak-injak seperti itu.
ada juga makam murid syech jumadil kubro, mbah chasan yasmin, yang tidak diketahui publik. .di komplek pondok pesantren al qur'an wates,jogja
Posting Komentar - Back to Content